Panitia Permagi Indonesia Tinjau Silsilah Marga Gulo Di Desa Dekha Kecamatan Ma’u

Nias – Sumatera Utara – (SIN) – Wakil ketua Permagi Indonesia, Drs. Fa’atulo Gulo melalui handphone selulernya dikatakannya bahwa kami panitia telah melakukan peninjauan langsung leluhur Tuada Gulo di desa Akhelauwe kecamatan Gido, dan setelah itu melihat langsung perkembangan dan peninggalan perkembangan leluhur atau keturunan Tuada Gulo di desa Dekha, peninjauan ini pada hari Sabtu (13/4/2024),”ucap wakil ketua panitia Permagi Indonesia, akrab dipanggil Ama Firman, Jum’at (26/4/2024).

Lanjut Ama Firman Gulo dengan sebutan gelar adatnya Balugu Anofula, mengatakan bahwa sangat perlu dan penting mengetahui asalnya marga di Nias khususnya Mado Gulo, dan ini merupakan awal kita untuk mempersatukan marga Gulo dimanapun berada di seluruh Indonesia bukan hanya di pulau Nias, marilah kita satukan persepsi untuk membangun kepulauan Nias menjadi impian bersama,”ujarnya.

Ditambahkannya, bahwa ada banyak peninggalan leluhur silsilah keturunan Tuada Gulo yang ada di desa Dekha, seperti batu Megalit (Behu), dan juga masih ada rumah adat Nias yang penuh dengan ukiran patung yang menyerupai bentuk tubuh manusia. Dan tujuannya Permagi Indonesia ini terbentuk agar silsilah marga Gulo diterbitkan sebuah buku, sehingga menjadi sejarah bagi generasi, tujuannya adalah bagaimana kita melestarikan budaya dan nilai peradaban,”tambah Ama Firman Gulo.

Ditempat terpisah, tokoh masyarakat setempat Ama Ayu Gulo menjelaskan bahwa marga Gulo yang di desa Dekha asalnya anak dari Tuada Gulo dari Akhelauwe, dan menurut cerita orangtua terdahulu bahwa ada sembilan orang anak Tuada Gulo dan terpencar-pencar termasuk di desa Dekha, desa Lewa-Lewa, Tuhemberua, Atualuo, Nias Barat Lawelu, Huruna, dan juga Nias Utara,’katanya di desa Hiliweto Gido, Jum’at (26/4/2024).

Dikatakannya lagi, bahwa peninggalan leluhur silsilah marga Gulo di desa Dekha seperti batu Megalit ( Behu – bhs Nias -red) diperkirakan telah berabad-abad, dan boleh jadi ratusan tahun sebelum datang Belanda di bumi Nias Indonesia ini, dan kalau rumah adat di desa Dekha itu tidak terlalu lama berkisaran puluhan tahun.

Masih Ama Ayu Gulo, ditanya, apakah berdirinya Behu apa ada syaratnya…? Jelaslah ada syaratnya itu harus dipestakan secara besar besaran dengan istilah “Owasa” dan ini tidak sembarang orang melakukan itu. Di Behunya atau di Batu Megalit syaratnya harus ada kepala manusia yang telah dipenggal oleh pasukan rajanya maka kepala dimaksud ditanam bersama Behunya (batu megalit) dan Behunya penuh dengan misteri, dan ini sebelum masuk Injil di kepulauan Nias dan setelah masuk Injil dan adanya hukum di Indonesia sudah tidak ada lagi kebiasaan pemenggalan kepala manusia dan kebiasaan ini dulu disebut Emali (maling pemenggalan kepala manusia pada zaman dulu),”jawabnya.

Ama Ayu Gulo lagi dijelaskannya bahwa berdirinya Behu (batu megalit) merupakan tokoh adat dan mendapatkan gelar adatnya di sebut Balugu dan gelar adatnya itu sangat dihormati dan disegani,”katanya mengakhiri.

(ArG)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1,331 Komentar